Sosmed: Antara Tradisi Telekomunikasi dan Media

Oleh Abd Aziz*
Kemajuan di bidang teknologi informasi di era global pada akhirnya mampu menghadirkan pola komunikasi terintegratif. Jika awalnya komunikasi hanya dilakukan dalam bentuk "one to one system" seperti telepon, dan surat menyurat untuk jenis komunikasi personal, akan tetapi di era kini, juga bisa dilakukan melalui jejaring atau yang dikenal dengan media sosial (medsos).

Regulasi tentang komunikasi dan media, merupakan dua hal yang berbeda. Media diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pokok-Pokok Pers dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sedangkan komunikasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasidan diubah dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Dalam ketentuan ini dijelaskan, bahwa telekomunikasi addalah setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda-tanda, isyarat-isyarat, tulisan-tulisan, gambar-gambar dan suara-suara atau berita-berita melalui kawat, visual, radio atau sistim elektromagnetik lain. (Pasal 1)

Sedangkan yang dimaksud alat telekomunikasi sebagaimana tertuang pada ayat b ialah setiap alat perlengkapan atau pesawat yang dipergunakan dalam pelaksanaan telekomunikasi dan yang dimaksud dengan perangkat telekomunikasi pada ayat c di pasal yang sama, yakni pasal 1 ialah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan penyelenggaraan telekomunikasi.

Stasiun, demikian pada ayat c, ialah satu atau beberapa pesawat pemancar dan/ataupesawat penerima atau suatu hubungan dari pesawat-pesawat pemancar dan pesawat-pesawat penerima termasuk perlengkapannya, yang diperlukan di suatu tempat untuk menyelenggarakan suatu dinas perhubungan radio.

Dengan demikian, jika merujuk kepada kedua ketentuan diatas, maka sebenarnya dapat dibedakan antara media dan komunikasi, berasarkan kedua regulasi tersebut.

Medsos Sebagai Sarana Komunikasi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mewarnai sistem komunikasi baru di dunia dengan hadirnya, media sosial (medsos).

Media sosial adalah sebuah media dalam jaringan (daring), dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. (id.wikipedia.org)

Jenis media komunikasi ini, sebenarnya menggabungkan antara telekomunikasi dan media, sebab, selain sistem yang digunakan bisa menggunakan pola komunikasi antarperseorangan (one to one system) juga bisa digunakan secara massif.

Selain mengambil peran telekomunikasi, jenis media ini juga mengambil peran jenis komunikasi lainnya, seperti surat menyurat, melalui pesan yang disampaikan, juga sebagai publikasi, dalam hal ini sebagian mengambil peran media massa.

Dengan demikian, pola komunikasi yang terbangun melalui media sosial ini adalah "multi arah", seperti adanya komunikasi interaktif dengan sesama pengguna, siaran kepada khalayak.

Regulasi Medsos
Sebagai salah satu jenis telekomunikasi baru yang berbasis pada internet, medsos tentu tidak tercakup pada dua ketentuan undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pokok-Pokok Pers yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasi yang diubah dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.

Pemerintah akhirnya membuat regulasi baru, yakni berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Secara umum, regulasi ini mengatur tentang sistem komunikasi melalui internet, baik surat elektronik, media sosial dan berbagai jenis jejaring sosial lainnya.

Ada 3 pasal yang diatur secara ketat dalam ketentuan itu. Masing-masing tentang defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online.

Ketiga pasal itu dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber. Namun, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah (hukumonline.com).

Kecenderunga Medsos
Jika mengacu kepada  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 ini, sebenarnya, kecenderungan tentang media sosial pada tradisi telekomunikasi.

Kecenderungan terlihat, karena di beberapa pasal menekankan pada individu, melalui kata "setiap orang". Pada telekomunikasi, titik tekan personal merupakan hal pokok, meski disatu sisi negara mengakui adanya komunikasi publik, seperti radio dan televisi.

Oleh karena itu, sengketa dalam kasus media sosial adalah diselesaikan dengan proses hukum melalui pengadilan.

Berbeda dengan tradisi media. Media menyelesaikan proses sengketa pers melalui institusi hukum yang ditunjuk oleh negara, yakni Dewan Pers, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sesuatu yang dianggap merugikan bagi salah satu pihak, baik perorangan, badan atau institusi pemerintah, maka penyelesaiannya masalahnya melalui beberapa langkah, yakni klarifikasi, menggunakan hak jawab bagi yang merasa dirugikan dalam pemberitaan itu, atau penulis, yakni wartawan mencabut berita yang telah disiarkan.

Tradisi dan ketentuan media massa ini, tidak berlaku bagi jenis media lain, selain media massa, semisal media sosial facebook, twitter ataupun jenis media sosial lainnya.

Salah satu kasus terkini terkait dengan media sosial yang diproses hukum ialah kasus yang menimpa Ketua DPR RI Setya Novanto yang dilakukan warga pengguna internet (warganet) di jejaring sosial instagram, seperti dilansir tempo.co pada 1 November 2017.

Unggah Meme Setya Novanto, Warganet Jadi Tersangka UU ITE

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat II Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Asep Safrudin membenarkan pihaknya telah menangkap seorang warganet bernama Dyann Kemala Arrizzqi karena diduga mencemarkan nama baik Ketua DPR Setya Novanto lewat meme yang diunggah ke Instagram. Polisi telah menetapkan pemilik akun Instagram dazzlingdyann ini sebagai tersangka.

Dyann diduga melanggar pasal 27 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama baik. "Tadi malam kami sudah menangkap yang bersangkutan dan sedang kami lakukan pemeriksaan intensif," katanya di Kantor Bareskrim, Cideng, Jakarta pada Rabu, 1 November 2017.

Meski berstatus tersangka, polisi tidak bisa menahan Dyann lantaran ia hanya terancam hukuman penjara di bawah lima tahun. "Kami tidak akan lakukan penahanan dan sedang dilakukan pemeriksaan di sini," kata Asep.

Asep menuturkan pihaknya masih menelusuri motif mengapa Dyann menyebarkan meme Setya Novanto. Saat diperiksa, Dyann mengaku hanya sekedar iseng. "Namun motivasi itu terus akan kami dalami apakah benar seperti itu, atau ada motif tertentu," ujarnya.

Dyann dilaporkan oleh pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, pada 10 Oktober 2017. Fredrich menunjukkan salah satu contoh postingan Dyann yang diduga mencemarkan nama baik kliennya.

Pada 7 Oktober 2017, Dyann mengunggah meme yang bertemakan The Power of Setya Novanto di Instagramnya. Ia menyertakan pula tangkapan layar sejumlah cuitan dari Twitter yang dilengkapi tanda pagar The Power of Setya Novanto.

Saat penangkapannya, Polisi menyita satu unit tablet samsung, satu sim card Simpati, dan satu buah kartu memori V-Gen ukuran 32 GB. Dari akun Instagramnya, Dyan diketahui merupakan kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Sekretaris Jenderal PSI, Raja Juli Antoni telah mengkonfirmasinya. "Dyann tercatat sebagai anggota PSI di Tangerang, bukan pengurus. Saya berharap dia mendapat keadilan," kata Toni saat dihubungi. 

Kasus mengunggah meme Ketua DPR RI Setya Novanto yang pelakunya dijerat dengan UU ITE ini, memperjelas, bahwa media sosial masuk pada ranah telekomonikasi dengan pijakan hukum pidana.

Jika acuannya adalah media, maka hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah mengklarifikasi isi pesan dalam media tersebut, sebelumnya akhirnya diproses secara hukum.

Selain itu, perbedaan mendasar yang membedakan antara media massa dengan media sosial adalah pada sisi peruntukan. Pada media massa tradisi yang tulis menulis dan pesan yang harus disampaikan adalah untuk kepentingan publik yang perlu diketahui publik, yakni pembaca untuk cetak dan online, pendengar untuk radio dan penonton untuk media televisi.

Sedangkan pada media sosial adalah dari perorangan, badan atau lembaga, agar dikenal publik dan pesan atau informasi yang disampaikan tidak semata-mata informasi publik, akan tetapi personal atau kelompok tertentu. (*)

* Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana (S2) Program Studi Media dan Komunikasi Fisip Universitas Airlangga Surabaya. Tulisan ini disampaikan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Hukum Media Massa.

0 Response to "Sosmed: Antara Tradisi Telekomunikasi dan Media"

Post a Comment