PWINews - Menjelang Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang ini, pejabat di beberapa institusi pemerintah di Pamekasan, sering mengeluhkan, banyaknya permohonan atau proposal yang diajukan oleh kelompok atau komunitas masyarakat yang mengatas namakan komunitas wartawan atau jurnalis.
Mereka datang ke institusi-institusi, seperti serbuan laron-laron secara silih berganti. "Saya wartawan, saya ingin bertemu dengan pimpinan. Apakah bapak ada?,". Demikian pernyataan yang sering dilontarkan.
Tidak jelas, kepentingan mereka untuk menemui pimpinan organisasi perangkat daerah, apakah untuk konfirmasi berita sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai insan pers, atau hanya ingin sekedar bertemu?. Kalau untuk konfirmasi berita, misalnya tujuannya mereka menemui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pamekasan untuk konfirmasi bagaimana sistem pelayanan di pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit yang akan diterapkan selama libur Lebaran nanti? Atau untuk mengkonfirmasi tentang sistem pelayanan terpadu yang akan diterapkan, itu tentu tidak masalah.
Tapi, yang sering terjadi menjelang Lebaran seperti sekarang ini, kedatangan kelompok yang mengaku wartawan ini, hanya untuk menyerahkan kartu Lebaran yang isinya justru permohonan bantuan. "Assalamu'alaikum Wr Wb. Segubungan dengan menjelang datangnya Idul Fitri 1439 H maka kami mengharap bantuan dari instansi lembaga maupun perusahaan Bapak/Ibu sekalian untuk memberi partisipasi, sebagai mitra awak media kepada anggota......".
Tidak salah kedatang wartawan menjelang Idul Fitri ke instansi dan perusahaan untuk mengajukan bantuan THR ini. Karena meminta-minta tidak diatur dalam ketentuan undang-undang kita, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ataupun dalam ketentuan perundang-undang lainnya. Itu jika dipahami dari sisi hukum positif yang ada. [Baca Juga: Ketentuan Dewan Pers Jadi Acuan KPU Terkait Wartawan dan Media]
Tidak salah pula, menjadikan kartu Lebaran sebagai media untuk menarik sumbangan, karena tidak ada sanksi pidana secara tegas. Demikian juga secara hukum tidak salah, jika wartawan datang ke instansi-instansi pemerintah dan perusahaan swasta dengan meminta-minta, karena dalam klausul undang-undang juga tidak tersurat dengan jelas. Itu apabila wartawan dipahami bukan sebuah profesi yang profesional, yang memiliki nilai lebih dalam karya jurnalistik, layaknya wartawan masyarakat atau yang dikenal dengan "citizen journalism".
Dalam konteks citizen journalism ini mempersepsikan bahwa semua orang adalah produsen informasi. Keahlian dan kemampuan jurnalistik tidak terlalu diperhitungkan dalam hal ini. Semua orang bisa memproduksi, mengabarkan berita, tanpa harus memiliki keterampilan dan keahlian khusus dalam memproduksi dan menyajikan informasi yang dibutuhkan khalayak. Demikian juga etika yang telah menjadi komitmen di kalangan jurnalis.
Pejabat institusi pemerintah, sebagian menganggap memang seperti itu jurnalis atau wartawan pada umumnya. Meminta permohonan dana saat hendak Lebaran, bahkan cenderung memaksa saat hendak menemui sumber berita dengan dalih karena mereka adalah jurnalis, dan menghalangi jurnalis dalam memperoleh informasi adalah tindakan pidana. Maka tidak heran, ketika persepsi tentang profesi jurnalis atau wartawan kemudian terbangun, bahwa semua keinginan wartawan harus dipenuhi, termasuk bagaimana harus menghadapi serbuan-serbuan wartawan yang seperti laron menjelang Lebaran seperti sekarang ini. [Baca Juga: Dua Institusi di Pamekasan Terapkan Sistem Liputan Selektif]
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengecam, mengutuk, bahkan menyalahkan terhadap tindakan wartawan yang dengan terang-terangan meminta-minta THR untuk kepentingan pribadi mereka menghadapi Lebaran. Itu adalah hak masing-masing untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Sebab, wartawan yang tidak meminta-minta juga belum tentu lebih baik pada sisi yang berbeda.
Akan tetapi yang perlu ditekankan bahwa profesi jurnalis adalah sebagaimana profesi-profesi lainnya, semisal dokter dan pengacara. Mereka bekerja berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan kode etik profesi yang mereka tetapkan. Menjadikan momentum Lebaran untuk meminta-minta melalui kartu Lebaran yang ditulis dengan jelas untuk meminta bantuan THR, tentu bukan saja mencemarkan nama profesi jurnalis, akan tetapi telah mengoyak-ngoyak martabat jurnalis sebagai institusi bermartabat dan memiliki peran penting dalam ikut mengontrol sistem pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa ini, sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut.
Di Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan, bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. [Baca Juga: Ketua PWI Pamekasan Beberkan Cara Cerdas Menyeleksi Informasi Media]
Perusahaan pers dalam ketentuan ini adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Wartawan dalam ketentuan ini adalah bekerja pada perusahaan pers, bukan pada institusi pemerintah, sehingga seharusnya, permintaan THR bukan pada pemerintah ataupun perusahaan mitra, melainkan kepada perusahaan dimana insan pers bekerja.
Di Pamekasan, atau mungkin juga terjadi di daerah lain di Indonesia, seolah menjadi tradisi, saat sebagian pegawai institusi atau perusahaan yang selama ini menjadi narasumber pemberitaan di media mendapatkan THR, maka wartawan merasa memiliki hak untuk juga menerima THR. [Baca Juga: Cara Mengenai Media Resmi di Situs Online]
Tidak heran, jika mendekati Lebaran sering ditemui ucapan selamat dalam bentuk kartu Lebaran dengan nama kelompok atau komunitas tertentu. Selama kartu Lebaran itu dikirim memang untuk menyambung tali silaturrahmi, tentu menjadi nilai plus. Akan tetapi ketika kartu Lebaran dikirim dan isinya adalah proposal permohonan bantuan, dalam konteks ini, tentu tidak sesuai lagi dengan fungsi dan peran pers.
Tips Bagi Institusi
Institusi pemerintah yang banyak didatangi laron-laron jurnalis yang menjadi bantuan THR-an ini, tentu akan merasa panik, tidak nyaman dan menjadi wajar, apabila sebagian diantara mereka lebih banyak menghindar.
Setidaknya ada beberapa tips untuk menghadapi serbuan laron-laron jurnalis ini. Pertama, terima saja kartu Lebaran yang mereka berikan yang berisi permohonan THR tersebut, akan tetapi jangan berjanji untuk memberikan apapun.
Kedua, jika mereka mendesak atau memaksa untuk memberikan uang, maka catat nama orang yang mengaku wartawan tersebut, tanyakan secara detail di perusahaan media mana mereka bekerja, alamat kantor perusahan, cek badan hukum media mereka di situs dewanpers.or.di, serta laporkan melalui pengaduan online yang tercantum di form pengaduan Dewan Pers tersebut.
Ketiga, bisa dijelaskan secara langsung kepada yang bersangkutan bahwa institusi yang anda pimpin tidak menyediakan dana khusus THR wartawan.
Keempat, segera koordinasikan dengan organisasi profesi resmi wartawan yang ada di wilayah tersebut, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), karena ketiga organisasi wartawan ini yang secara resmi diakui negara melalui Dewan Pers.
Kelima, sebisa mungkin anda hendaknya mengantongi kontak persen pengurus dari oraganisasi resmi wartawan yang diakui negara itu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, wartawan laron-laron yang tidak diberi akses atau tidak diberi uang ini mengancam dengan berbagai cara, termasuk memberitakan hal-hal yang bisa merugikan institusi yang anda pimpin. Jika hal itu terjadi, maka sama halnya, dengan menyalahgunakan kebebasan pers untuk kepentingan pribadi oknum si jurnalis dimaksud. (*)
Mereka datang ke institusi-institusi, seperti serbuan laron-laron secara silih berganti. "Saya wartawan, saya ingin bertemu dengan pimpinan. Apakah bapak ada?,". Demikian pernyataan yang sering dilontarkan.
Tidak jelas, kepentingan mereka untuk menemui pimpinan organisasi perangkat daerah, apakah untuk konfirmasi berita sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai insan pers, atau hanya ingin sekedar bertemu?. Kalau untuk konfirmasi berita, misalnya tujuannya mereka menemui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pamekasan untuk konfirmasi bagaimana sistem pelayanan di pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit yang akan diterapkan selama libur Lebaran nanti? Atau untuk mengkonfirmasi tentang sistem pelayanan terpadu yang akan diterapkan, itu tentu tidak masalah.
Tapi, yang sering terjadi menjelang Lebaran seperti sekarang ini, kedatangan kelompok yang mengaku wartawan ini, hanya untuk menyerahkan kartu Lebaran yang isinya justru permohonan bantuan. "Assalamu'alaikum Wr Wb. Segubungan dengan menjelang datangnya Idul Fitri 1439 H maka kami mengharap bantuan dari instansi lembaga maupun perusahaan Bapak/Ibu sekalian untuk memberi partisipasi, sebagai mitra awak media kepada anggota......".
Tidak salah kedatang wartawan menjelang Idul Fitri ke instansi dan perusahaan untuk mengajukan bantuan THR ini. Karena meminta-minta tidak diatur dalam ketentuan undang-undang kita, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ataupun dalam ketentuan perundang-undang lainnya. Itu jika dipahami dari sisi hukum positif yang ada. [Baca Juga: Ketentuan Dewan Pers Jadi Acuan KPU Terkait Wartawan dan Media]
Tidak salah pula, menjadikan kartu Lebaran sebagai media untuk menarik sumbangan, karena tidak ada sanksi pidana secara tegas. Demikian juga secara hukum tidak salah, jika wartawan datang ke instansi-instansi pemerintah dan perusahaan swasta dengan meminta-minta, karena dalam klausul undang-undang juga tidak tersurat dengan jelas. Itu apabila wartawan dipahami bukan sebuah profesi yang profesional, yang memiliki nilai lebih dalam karya jurnalistik, layaknya wartawan masyarakat atau yang dikenal dengan "citizen journalism".
Dalam konteks citizen journalism ini mempersepsikan bahwa semua orang adalah produsen informasi. Keahlian dan kemampuan jurnalistik tidak terlalu diperhitungkan dalam hal ini. Semua orang bisa memproduksi, mengabarkan berita, tanpa harus memiliki keterampilan dan keahlian khusus dalam memproduksi dan menyajikan informasi yang dibutuhkan khalayak. Demikian juga etika yang telah menjadi komitmen di kalangan jurnalis.
Pejabat institusi pemerintah, sebagian menganggap memang seperti itu jurnalis atau wartawan pada umumnya. Meminta permohonan dana saat hendak Lebaran, bahkan cenderung memaksa saat hendak menemui sumber berita dengan dalih karena mereka adalah jurnalis, dan menghalangi jurnalis dalam memperoleh informasi adalah tindakan pidana. Maka tidak heran, ketika persepsi tentang profesi jurnalis atau wartawan kemudian terbangun, bahwa semua keinginan wartawan harus dipenuhi, termasuk bagaimana harus menghadapi serbuan-serbuan wartawan yang seperti laron menjelang Lebaran seperti sekarang ini. [Baca Juga: Dua Institusi di Pamekasan Terapkan Sistem Liputan Selektif]
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengecam, mengutuk, bahkan menyalahkan terhadap tindakan wartawan yang dengan terang-terangan meminta-minta THR untuk kepentingan pribadi mereka menghadapi Lebaran. Itu adalah hak masing-masing untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Sebab, wartawan yang tidak meminta-minta juga belum tentu lebih baik pada sisi yang berbeda.
Akan tetapi yang perlu ditekankan bahwa profesi jurnalis adalah sebagaimana profesi-profesi lainnya, semisal dokter dan pengacara. Mereka bekerja berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan kode etik profesi yang mereka tetapkan. Menjadikan momentum Lebaran untuk meminta-minta melalui kartu Lebaran yang ditulis dengan jelas untuk meminta bantuan THR, tentu bukan saja mencemarkan nama profesi jurnalis, akan tetapi telah mengoyak-ngoyak martabat jurnalis sebagai institusi bermartabat dan memiliki peran penting dalam ikut mengontrol sistem pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa ini, sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut.
Di Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan, bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. [Baca Juga: Ketua PWI Pamekasan Beberkan Cara Cerdas Menyeleksi Informasi Media]
Perusahaan pers dalam ketentuan ini adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Wartawan dalam ketentuan ini adalah bekerja pada perusahaan pers, bukan pada institusi pemerintah, sehingga seharusnya, permintaan THR bukan pada pemerintah ataupun perusahaan mitra, melainkan kepada perusahaan dimana insan pers bekerja.
Di Pamekasan, atau mungkin juga terjadi di daerah lain di Indonesia, seolah menjadi tradisi, saat sebagian pegawai institusi atau perusahaan yang selama ini menjadi narasumber pemberitaan di media mendapatkan THR, maka wartawan merasa memiliki hak untuk juga menerima THR. [Baca Juga: Cara Mengenai Media Resmi di Situs Online]
Tidak heran, jika mendekati Lebaran sering ditemui ucapan selamat dalam bentuk kartu Lebaran dengan nama kelompok atau komunitas tertentu. Selama kartu Lebaran itu dikirim memang untuk menyambung tali silaturrahmi, tentu menjadi nilai plus. Akan tetapi ketika kartu Lebaran dikirim dan isinya adalah proposal permohonan bantuan, dalam konteks ini, tentu tidak sesuai lagi dengan fungsi dan peran pers.
Tips Bagi Institusi
Institusi pemerintah yang banyak didatangi laron-laron jurnalis yang menjadi bantuan THR-an ini, tentu akan merasa panik, tidak nyaman dan menjadi wajar, apabila sebagian diantara mereka lebih banyak menghindar.
Setidaknya ada beberapa tips untuk menghadapi serbuan laron-laron jurnalis ini. Pertama, terima saja kartu Lebaran yang mereka berikan yang berisi permohonan THR tersebut, akan tetapi jangan berjanji untuk memberikan apapun.
Kedua, jika mereka mendesak atau memaksa untuk memberikan uang, maka catat nama orang yang mengaku wartawan tersebut, tanyakan secara detail di perusahaan media mana mereka bekerja, alamat kantor perusahan, cek badan hukum media mereka di situs dewanpers.or.di, serta laporkan melalui pengaduan online yang tercantum di form pengaduan Dewan Pers tersebut.
Ketiga, bisa dijelaskan secara langsung kepada yang bersangkutan bahwa institusi yang anda pimpin tidak menyediakan dana khusus THR wartawan.
Keempat, segera koordinasikan dengan organisasi profesi resmi wartawan yang ada di wilayah tersebut, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), karena ketiga organisasi wartawan ini yang secara resmi diakui negara melalui Dewan Pers.
Kelima, sebisa mungkin anda hendaknya mengantongi kontak persen pengurus dari oraganisasi resmi wartawan yang diakui negara itu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, wartawan laron-laron yang tidak diberi akses atau tidak diberi uang ini mengancam dengan berbagai cara, termasuk memberitakan hal-hal yang bisa merugikan institusi yang anda pimpin. Jika hal itu terjadi, maka sama halnya, dengan menyalahgunakan kebebasan pers untuk kepentingan pribadi oknum si jurnalis dimaksud. (*)
0 Response to "Tip Aman dari "Laron-laron" Jurnalis"
Post a Comment