PWINews - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan menilai, pemberian remisi terhadap otak pembunuhan wartawan Radar Bali, Prabangsa, yakni Susrama, dari vonis seumur hidup menjadi 20 tahun penjara, menciderai kebebasan pers.
“Pemberian remisi itu memang merupakan hak prerogatif presiden, akan tetapi dalam konteks pemberian remisi kepada otak pelaku pembunuhan wartawan itu, sangat melukai kebebasan pers dan keinginan kuat elemen masyarakat pers untuk mengontrol sistem negara yang bebas korupsi,” kata Ketua PWI Pamekasan Abd Aziz di Pamekasan, Selasa (29/1/2019).
Apalagi, sambung dia, wartawan Radar Bali yang menjadi korban pembunuhan itu, karena memberitakan dugaan kasus korupsi.
Pewarta Perum LKBN Antara ini lebih lanjut menyatakan, pemberian remisi sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi kepada I Nyoman Susrama bersama 114 narapidana lainnya, memang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Hanya saja, selaku insan pers, pemberian remisi kepada saudar kita yang terbunuh karena memberitakan dugaan korupsi, serasa mengerdilkan, bahkan serasa tidak menghargai upaya insan pers dalam ikut mengawal, dan memberantas dugaan tindak pidana korupsi,” kata Aziz.
Citra bahwa seolah pemerintah kurang menghargai peran pers dan profesi wartawan, karena remisi itu diberikan justru saat masyarakat pers saat hendak merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2019.
“Jadi, persepsi publik seolah diajak untuk mengingat, bahwa saat HPN 2019 hendak dirayakan, pembunuh wartawan di Bali justru mendapatkan remisi,” ujar Aziz.
Oleh karena itu, sambung Aziz, PWI Pamekasan secara kelembagaan, meminta hendaknya pemberian remisi kepada otak pembunuhan Radar Bali itu dipertimbangkan kembali.
Mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini lebih lanjut menjelaskan, pemberian remisi kepada narapidana otak pembunuhan wartawan di Bali itu, bisa memperburuk indek kemerdekaan pers pada indikator kebebasan dan kriminalitas yang sudah membaik.
Sebab, menurut dia, dalam penelitian Dewan Pers, indikator kebebasan dari kriminalitas sudah menempati nilai tertinggi dari beberapa indikator lainnya dengan nilai 78,84 atau cukup baik. Sedangkan perlindungan disabilitas menempati urutan terakhir dengan nilai 43,92 atau kurang bebas.
Dari indikator kebebasan dari kriminalitas ini, Dewan Pers menemukan adanya hubungan antarnegara dan perusahaan pers yang saling mempengaruhi.
“Kategori cukup baik ini, karena lembaga negara seolah sudah memberikan ruang bebas bagi insan pers untuk berekspresi dan menghargai peran dan cita ideal pers sebagai lembaga kontrol dan pilar keempat dalam sistem demokrasi,” katanya.
Akan tetapi, sambung dia, dalam kasus pemberian remisi ini, lembaga negara seolah mendowngrading insan pers dan masyarakat pers, apalagi wartawan yang menjadi korban pembunuhan tersebut, karena memberitakan kasus dugaan korupsi.
“Ini yang menjadi dasar PWI Pamekasan perlu menyuarakan dan meminta presiden meninjau kembali keputusan remisi pada otak pelaku pembunuhan wartawan di Bali itu,” katanya, menambahkan. (Humas PWI Pamekasan).
“Pemberian remisi itu memang merupakan hak prerogatif presiden, akan tetapi dalam konteks pemberian remisi kepada otak pelaku pembunuhan wartawan itu, sangat melukai kebebasan pers dan keinginan kuat elemen masyarakat pers untuk mengontrol sistem negara yang bebas korupsi,” kata Ketua PWI Pamekasan Abd Aziz di Pamekasan, Selasa (29/1/2019).
Apalagi, sambung dia, wartawan Radar Bali yang menjadi korban pembunuhan itu, karena memberitakan dugaan kasus korupsi.
Pewarta Perum LKBN Antara ini lebih lanjut menyatakan, pemberian remisi sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi kepada I Nyoman Susrama bersama 114 narapidana lainnya, memang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Hanya saja, selaku insan pers, pemberian remisi kepada saudar kita yang terbunuh karena memberitakan dugaan korupsi, serasa mengerdilkan, bahkan serasa tidak menghargai upaya insan pers dalam ikut mengawal, dan memberantas dugaan tindak pidana korupsi,” kata Aziz.
Citra bahwa seolah pemerintah kurang menghargai peran pers dan profesi wartawan, karena remisi itu diberikan justru saat masyarakat pers saat hendak merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2019.
“Jadi, persepsi publik seolah diajak untuk mengingat, bahwa saat HPN 2019 hendak dirayakan, pembunuh wartawan di Bali justru mendapatkan remisi,” ujar Aziz.
Oleh karena itu, sambung Aziz, PWI Pamekasan secara kelembagaan, meminta hendaknya pemberian remisi kepada otak pembunuhan Radar Bali itu dipertimbangkan kembali.
Mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini lebih lanjut menjelaskan, pemberian remisi kepada narapidana otak pembunuhan wartawan di Bali itu, bisa memperburuk indek kemerdekaan pers pada indikator kebebasan dan kriminalitas yang sudah membaik.
Sebab, menurut dia, dalam penelitian Dewan Pers, indikator kebebasan dari kriminalitas sudah menempati nilai tertinggi dari beberapa indikator lainnya dengan nilai 78,84 atau cukup baik. Sedangkan perlindungan disabilitas menempati urutan terakhir dengan nilai 43,92 atau kurang bebas.
Dari indikator kebebasan dari kriminalitas ini, Dewan Pers menemukan adanya hubungan antarnegara dan perusahaan pers yang saling mempengaruhi.
“Kategori cukup baik ini, karena lembaga negara seolah sudah memberikan ruang bebas bagi insan pers untuk berekspresi dan menghargai peran dan cita ideal pers sebagai lembaga kontrol dan pilar keempat dalam sistem demokrasi,” katanya.
Akan tetapi, sambung dia, dalam kasus pemberian remisi ini, lembaga negara seolah mendowngrading insan pers dan masyarakat pers, apalagi wartawan yang menjadi korban pembunuhan tersebut, karena memberitakan kasus dugaan korupsi.
“Ini yang menjadi dasar PWI Pamekasan perlu menyuarakan dan meminta presiden meninjau kembali keputusan remisi pada otak pelaku pembunuhan wartawan di Bali itu,” katanya, menambahkan. (Humas PWI Pamekasan).
0 Response to "Ketua PWI: Pemberian Remisi pada Pembunuh Wartawan Ciderai Kebebasan Pers"
Post a Comment