Menimbang Nasib Korban Pemerkosaan
Oleh BAGONG SUYANTO *)
OPINI
16 Desember 2021, 20:39:50 WIB
INDONESIA berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Dikatakan darurat karena ancaman dan terjadinya berbagai kasus tindak kekerasan seksual sudah tidak bisa ditoleransi. Korban tindak kekerasan telah banyak berjatuhan di berbagai daerah. Tanpa bisa diduga, siapa pun dapat menjadi pelaku tindak kekerasan seksual.
Banyak kasus membuktikan, pelaku tindak kekerasan seksual tidak selalu laki-laki bengis atau preman yang memiliki motif jahat untuk memerkosa korban sebagai penyaluran hasrat kelaki-lakiannya yang tidak terkendali. Belakangan, yang mencemaskan, tindak kekerasan seksual justru dilakukan oleh figur-figur yang dihormati masyarakat. Guru dan pimpinan lembaga keagamaan yang seharusnya jadi suri teladan ternyata bisa berubah menjadi harimau jahat yang tega memerkosa anak-anak (perempuan) yang tidak berdaya.
Di Bandung, seorang pengasuh Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani dan Pesantren Tahfidz Quran Almadani Cibiru dilaporkan telah memerkosa 12 santriwatinya dalam rentang tahun 2016–2021. Herry Wirawan, 36, laki-laki bejat yang menyembunyikan kelakuan jahatnya sebagai pengasuh pondok pesantren, tega memerkosa santriwati selama bertahun-tahun. Tujuh korban dilaporkan telah melahirkan 9 anak dan 2 janin masih berada dalam kandungan.
Secara konseptual, pemerkosaan didefinisikan sebagai usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) kepada korban (biasanya perempuan) dengan cara yang menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Brownmiller (1975) mendefinisikan pemerkosaan sebagai pemaksaan hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan atau kehendak yang disadari oleh perempuan itu.
Pemerkosaan adalah puncak dari tindak pelecehan seksual yang paling mengerikan –yang bagi semua perempuan jelas-jelas merupakan momok paling menakutkan dan tak seorang pun ingin mengalaminya. Berbeda dengan tindak pelecehan seksual –seperti disiuli, digoda dengan kata-kata tak senonoh, dicolek, atau dipandang dengan cara seolah-olah menelanjangi– yang acapkali hanya menimbulkan perasaan dongkol, terhina, dan marah. Pemerkosaan kerap menimbulkan luka traumatis yang benar-benar mendalam.
Dalam berbagai kasus tindak kekerasan seksual, sering kali korban tidak hanya mengalami penganiayaan seksual, tetapi juga menderita trauma mendalam, perasaan terhina, kotor, dan lain sebagainya yang akan terbawa hingga mereka tua dan meninggal. Tak sedikit korban pemerkosaan yang memilih mengakhiri hidupnya. Melakukan aksi bunuh diri karena tak kuat menanggung beban sebagai korban tindak kekerasan seksual.
Dalam banyak kasus, korban tindak kekerasan seksual biasanya tidak berdaya dan cenderung memilih pasrah ketika pelaku adalah sosok yang berkuasa dan dihormati masyarakat. Dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan figur-figur yang dihormati, seperti ulama atau pimpinan lembaga keagamaan, korban biasanya tidak berani melawan. Pelaku bisa bebas bertahun-tahun melakukan kekerasan seksual karena korban berada dalam posisi hubungan dengan pelaku yang asimetris.
Hubungan korban dengan pelaku tindak kekerasan seksual umumnya adalah relasi ketertundukan. Anak-anak yang menjadi korban incest, atau anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan guru atau pimpinan pondok pesantren, biasanya terpaksa memilih diam. Tidak berani bersuara. Sebab, mereka umumnya gamang akan konsekuensi yang bakal dialami setelah pengaduannya.
Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, selama ini, banyak korban kekerasan seksual yang enggan melapor dan membawa kasusnya ke ranah hukum. Selain ketidakyakinannya bahwa penderitaan yang dialami akan mendapat penanganan hukum yang tepat dan adil, korban sering kali takut menerima stigma buruk dari masyarakat. Dalam kriminologi, dikenal istilah secondary victimization (viktimisasi sekunder) atau multiple victimization (viktimisasi berlipat) untuk menggambarkan posisi korban yang rentan mendapat penderitaan baru pasca melaporkan apa yang dialaminya.
Beban hidup sebagai perempuan –yang diharuskan masyarakat untuk selalu menjaga kesuciannya– membuat banyak korban tindak kekerasan tidak berani melaporkan pelaku ke pihak berwajib. Selain itu, risiko mendapat stigma buruk –alih-alih simpati dan empati– membuat korban lebih memilih memendam penderitaannya hingga mereka meninggal. Tidak sedikit kasus, justru keluarga korban atau bahkan orang tua korban yang meminta korban berdiam diri daripada membawa kasusnya ke meja hijau dengan risiko akan menjadi aib yang mencoreng kehormatan nama keluarga.
Hukuman bagi Pelaku
Hukuman apa yang paling tepat untuk pelaku tindak kekerasan seksual? Untuk pemerkosaan dengan jumlah korban lebih dari satu dan dilakukan oleh seseorang dengan memanfaatkan relasi ketertundukan, bisa dipahami jika masyarakat mengusulkan ancaman hukuman yang benar-benar setimpal. Yakni, penjara seumur hidup dan kebiri.
Menurut hukum, predator seksual terhadap anak memang terancam hukuman kebiri kimia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak telah jelas disebutkan ancaman hukuman kebiri itu.
Meski sebagian pihak masih menolak tambahan hukuman kebiri bagi pemerkosa karena dianggap tidak manusiawi, dari perspektif korban tentu berbeda. Korban maupun pihak keluarga korban niscaya merasa bahwa hukuman mati dan kebiri sebetulnya masih kurang sebanding dengan penderitaan dan masa depan korban yang direnggut pelaku.
Untuk menimbulkan efek jera, ancaman hukuman berat memang tidak menjadi jaminan bakal menakuti (calon) pelaku pemerkosaan yang sejak awal memiliki niat jahat memerkosa. Tetapi, untuk rasa keadilan dan mencegah agar pelaku tidak bisa mengulangi kejahatan yang sama, hukuman berat dan kebiri sesungguhnya adalah salah satu jalan keluar yang sepadan dilaksanakan. (*)
Sumber : https://www.jawapos.com/opini/16/12/2021/menimbang-nasib-korban-pemerkosaan/
0 Response to " Menimbang Nasib Korban Pemerkosaan"
Post a Comment